Statistik

Natal Momentum Kembali pada Kesahajaan

Senin, 26 Desember 2011

Momentum Natal mengajak umat manusia kembali pada kebenaran hidup yang paling mendasar yaitu kebersahajaan. Menjamurnya budaya korupsi di Indonesia disinyalir akibat terkikisnya nilai kesahajaan itu.

Rohaniawan Romo Mudji Sutrisno mengatakan, Natal bermakna kelahiran kembali yaitu lahirnya keselamatan, pengharapan, dan lahirnya hidup yang baru seperti bayi yang sederhana dan penuh kesahajaan. Pada saat panggung negara penuh dengan korupsi, kebusukan, ketidakadilan, politisasi, dan ekonomisasi menandakan hilangnya penghayatan terhadap Natal.

Untuk itu, Mudji mengajak agar Natal 2011 dijadikan momentum untuk kembali pada kebenaran hidup yang paling mendasar yaitu kebersahajaan. “Menjamurnya korupsi karena kita sudah tidak lagi bersahaja. Koruptor sesungguhnya keluar dari kesahajaan dirinya,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Sabtu (24/12).

Menurutnya, munculnya skandal Bank Century senilai Rp6,7 triliun, makelar kasus hokum, PNS Muda dengan uang miliaran rupiah di rekeningnya, sangat bertentangan dengan makna Natal. Semua itu adalah jabatan dan otoritas yang merupakan budaya warisan para priyayi di zaman post-kolonialisme. Bahkan, kepriyaian seorang Romo pun dinilai sebagai jabatan. “Kiyai pun dihayati sebagai status. Begitu juga dengan profesor,” ujarnya.

Padahal, kata Romo, semua itu harus dihayati sebagai pelayanan. Saat ini, pelayanan berhenti hanya sebatas slogan. Ironisnya, semakin banyak slogan ‘melayani’, semakin menunjukkan something wrong dengan pelayanan itu sendiri.

Ia menegaskan perilaku korup, benar-benar merupakan akibat dari ketidakbersahajaan dan raibnya sikap apa adanya. Selalu memakai semua kekuasaan, jabatan, dan status untuk menggelembungkan ego-ego.

Karena itu, Romo mengajak, agar Natal dimaknai sebagai kebersahajaan yang muncul dalam palungan bayi yang lahir. Jika Allah sendiri mau menggunakan kebersahajaan untuk jalan penebusan, semua umat manusia akan mati dengan kesahajaan. “Tidak ada yang bisa dibawa ke akhirat, kubur, selain kesahajaan itu sendiri,” timpalnya.

Kesahajaan saat ini hampir sirna. Pasalnya, agama dan ekonomi sudah dipolitisasi. Sebaliknya, politik pun mudah diekonomisasi. Pada akhirnya manusaia menjadi pecah. Baik kalah maupun menang menjadi pertengkaran meskipun masih sesama bangsa. “Padahal, jika kita semua rendah hati, berdoa di setiap kelahiran anak kita, dan kelahiran kita sendiri, semua itu mengajak kembali pada ketulusan kita sendiri,” paparnya.

Natal, merupakan gugatan untuk belajar mendengarkan nurani. Pasalnya, ekonomisasi membuat orang dinilai, diukur dan dihitung berdasarkan uang, untung rugi, dan kaya-miskin. “Momentum Natal ini saya mengajak untuk mencintai hidup mulai dari masa kecil sejak kita menjadi bayi,” urainya.

Bayi merupakan jalan kehidupan. Inilah jalan peradaban. Inilah jalan merayakan kesahajaan hidup dalam kebudayaan yang sudah sejak lama ditinggalkan. Tradisi nusantara mengajarkan untuk hidup sebagaimana adanya. “Kesahajaan dirayakan, dimuliakan, dan diperindah. Memayu hayuning bawono,” ucapnya.

Kesahajaan, lanjutnya, terdapat pada semua tradisi dan perayaan-perayaan. Karena itu, Natal 2011 ini juga merupakan momentum untuk melawan konsumerisme dan reduksionisme manusia hanya pada uang, kekuasaan, penampilan dan citra diri. “Saat ini, politik, setelah media menempatkan citra seorang pemimpin bagus, Sang Pemimpin tidak lagi mendengarkan rakyatnya,” ungkap Romo.

Di atas semua itu, Romo menegaskan, Natal harus dijadikan semacam budaya tandingan (counter culture). Natal tidak dimaknai sebagai konsumerisme, gebyar-gebyar pesta, melainkan kembali kepada kaum papa, anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya, dan panti asuhan.

Natal juga merupakan kepedulian kepada yang terpinggirkan. “Karena itulah, kita diundang untuk merayakan Natal kembali pada kesahajaan dan bukan untuk pestanya,” imbuhnya. Selamat Natal 2011—Kebaikan dan Kedamaian Selalu Menyertai Anda Semua.

0 komentar:

Posting Komentar